BEGINI: Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City kembali menjadi sorotan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang proyek ini. Mereka menilai keberadaan proyek tersebut mengancam masyarakat yang telah lama bermukim di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Ketua LAM Kota Batam, Raja Muhammad Amin, dengan tegas menyatakan penolakan terhadap rencana penggusuran demi kepentingan investasi.
"Kampung tua jangan digusur. Dalam waktu dekat, kami akan menyurati Bapak Presiden Prabowo agar PSN Rempang Eco-City ini dievaluasi kembali," ujarnya melalui sambungan telepon, Selasa (4/2/2025).
Menurut Raja, masyarakat adat yang telah bermukim di Pulau Rempang selama ratusan tahun tidak boleh dikorbankan demi investasi. Sebagai Sekretaris Umum Rumpun Khasanah Warisan Batam yang menaungi 102 Kampung Tua di Batam, ia menegaskan bahwa masyarakat Melayu adalah bangsa bahari yang terbuka terhadap pendatang. Namun, keterbukaan ini bukan berarti kampung-kampung tua bisa dihapuskan begitu saja.
"LAM Batam berharap, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, kebijakan PSN Rempang Eco-City bisa dievaluasi ulang dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat lokal," tegasnya.
Desakan serupa juga disampaikan oleh anggota DPD RI perwakilan Kepri, Ria Saptarika, saat melakukan kunjungan kerja ke kantor Pemkot Batam, Senin (3/2/2025). Ia menegaskan bahwa DPD RI masih menunggu surat resmi dari LAM Batam terkait kondisi masyarakat di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang.
"Kami sedang menunggu surat dari LAM. Evaluasi memang diperlukan, tetapi jangan sampai masyarakat terganggu kehidupannya dan kehilangan mata pencaharian," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite II DPD RI, Angelios Wake Kako, juga menyoroti permasalahan dalam proyek Rempang. Menurutnya, evaluasi perlu dilakukan jika ditemukan banyak persoalan di lapangan.
"Selama ini, evaluasi terhadap polemik antara masyarakat dan investasi lebih banyak terjadi di Pulau Jawa, terutama di Jakarta seperti kasus Pantai Indah Kapuk (PIK). Tapi ternyata di daerah ini juga banyak permasalahan serupa," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penolakan warga terhadap proyek ini hampir terjadi di semua titik. Oleh karena itu, momentum ini harus dimanfaatkan untuk meninjau kembali kebijakan PSN.
Bagi Angelios, pembangunan harus mengutamakan komunikasi dan dialog dengan masyarakat. Ia menilai bahwa keberatan warga bukan sekadar penolakan terhadap proyek, tetapi lebih kepada perlindungan hak-hak mereka.
"Pemerintah harus memastikan hak dan kewajiban warga dipahami dengan jelas agar proyek berjalan tanpa konflik. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, terutama eksekutif, agar setiap pembangunan selalu mengedepankan komunikasi dan dialog dengan masyarakat," pungkasnya.