Penyakit AIDS sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu lho, Beauties! Hanya saja, dahulu tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap AIDS lebih rendah sehingga banyak orang yang terinfeksi dan meninggal dunia. Krisis AIDS yang memakan banyak korban jiwa itu mencapai epidemi di Amerika Serikat tahun 1981-1900an. Melansir laman Not Just a Label, sebuah data dalam artikel Vanity Fair menunjukkan sebanyak 179.000 orang meninggal dunia akibat AIDS di Amerika Serikat pada tahun 1991 dan New York merupakan kota episentrumnya. Di era itu pula, fashion yang erat kaitannya dengan queer menjadi salah satu industri yang paling terdampak. Yuk simak sejarah AIDS dan dampaknya terhadap fashion yang telah dirangkum dari berbagai sumber ini!
Kasus AIDS Pertama di Amerika Serikat Tahun 1981
Kasus pertama AIDS di tahun 1981/ Foto: pinterest.com/sfgate.com |
Sebuah laporan dari Centers of Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa tepat pada 5 Juni 1981, sebanyak 5 orang laki-laki di Los Angeles, Amerika Serikat, teridentifikasi terjangkit penyakit sejenis pneumonia yang disebabkan kontak seksual. Sejak kasus pertama itu, semakin banyak laki-laki berusia muda yang terinfeksi dengan gejala yang sama. CDC pun akhirnya menginvestigasi penyakit yang masih belum teridentifikasi tersebut. Berdasarkan laporan yang tercatat pada laman CDC, dampak terbesar epidemi AIDS di tahun 1980an muncul diantara mereka yang melakukan hubungan seksual antar laki-laki dan diantara etnis minoritas. Peningkatan kasus AIDS pada perempuan dan hubungan heterosexual pun turut terjadi. Kasus AIDS mencapai puncaknya di awal 1990an.
AIDS Merupakan Hal Tabu dan Memalukan
AIDS dianggap sebagai hal tabu dan memalukan/ Foto: vogue.com/ |
Baik dalam ranah sosial maupun bisnis, publikasi mengenai seseorang terjangkit AIDS cenderung ditutupi di era tahun 80an karena dianggap hal yang tabu dan memalukan. Walaupun menimbulkan fatalitas yang tinggi, para pejabat negara tidak pernah menyebutkan urgensi penanganan kasus ini dengan menyebutkannya di publik. AIDS seakan menjadi ‘noda’––menimbulkan stigma sosial negatif dalam kelompok sehingga orang-orang yang meninggal karenanya lebih baik tidak diketahui. Begitu juga dengan desainer yang meninggal akibat penyakit ini, seperti Willi Smith, Patrick Kelly, Chester Weinberg, Lee Wright, dan Perry Ellis
Diskriminasi Gender dalam Industri Fashion Akibat AIDS
Diskriminasi gender akibat AIDS/ Foto: pinterest.com/Hyperallergic |
Sulit untuk memisahkan homoseksualitas dan AIDS dengan fashion. Kerap menjadi sarana untuk mengekspresikan diri, gender dan seksualitas merupakan objek inspirasi yang menggerakkan fashion selama bertahun-tahun. Kelekatan elemen ini juga mengindikasikan beberapa orang di balik layar merupakan bagian dari LGBTQ. Mengingat maraknya homophobia di era 80an dan infeksi AIDS dianggap memalukan, diskriminasi gender terhadap laki-laki pun terjadi, termasuk beberapa desainer yang diketahui homoseksual dan mengidap AIDS. Industri fashion pun terimbas––identitas dan moralitas semakin diragukan.
Jatuhnya Industri Fashion di Tengah Pandemi AIDS
Merosotnya industri fashion akibat stigma AIDS/ Foto: pinterest.com/Bustle.com |
Banyaknya desainer homoseksual dan terinfeksi AIDS membuat industri fashion semakin terpuruk. Banyak orang enggan membeli pakaian yang dibuat oleh tangan yang ‘terinfeksi’ tersebut. Jika seorang perancang busana dari sebuah label––bahkan yang ternama sekalipun––terbukti positif HIV/AIDS, maka reputasinya akan hancur. Sayangnya, mayoritas yang bekerja di industri fashion, mulai dari desainer hingga makeup artist, harus melawan penyakit berbahaya ini. Hilangnya sumber daya manusia yang brilian di industri memicu merosotnya kreativitas. Di sisi lain, para investor global menolak bekerjasama dengan desainer yang positif HIV/AIDS dan lebih memilih untuk mendukung desainer perempuan secara finansial––menjadikan mereka semakin berjaya di tahun 90an.
Bangkitkan Urgensi Lawan AIDS Melalui ACT UP
ACT UP tahun 1994/ Foto: vogue.com/ |
Pandemi AIDS merajalela secara global, mendorong pembentukan AIDS Coalition to Unleash Power (ACT UP) tahun 1987, yaitu aksi internasional demi membangkitkan urgensi, mendukung penelitian medis, dan mendorong dibentuknya kebijakan untuk mengakhiri krisis AIDS. Mengumandangkan slogan “Silence=Death”, demonstrasi ini menjadi titik krusial penanganan AIDS. Tidak berhenti di situ, department store Barney's New York juga berkontribusi dengan menyelenggarakan fundraising untuk melawan AIDS. Sejumlah publik figur turut berperan di dalamnya dan berhasil meningkatkan perhatian publik akan pentingnya masalah ini. Selain itu, para fashion designer juga bergabung untuk menyelenggarakan fundraising terbesar, 7th on Sale, disponsori oleh CFDA. Alhasil, penggalangan dana tersebut berhasil mengumpulkan jutaan dolar untuk penanganan HIV/AIDS.
Krisis AIDS ‘80an Hasilkan Karya Menswear Radikal di Era 90an
Koleksi tahun 90an yang maskulin/ Foto: pinterest.com/periodicult 1980-1999 |
Walaupun terjadi penurunan angka kematian dan kasus baru AIDS, masa gelap dunia fashion selama AIDS memuncak begitu membekas di benak. Ketakutan akan stigma sosial yang buruk di masyarakat masih membayangi industri. Hal tersebut memberikan dampak, bukan hanya dari segi bisnis, tapi juga dalam deretan desain koleksi tahun 90an. Karya menswear yang radikal dan konservatif muncul dalam sejumlah peragaan busana––menampilkan siluet heteronormatif berdesain sangat maskulin.
Pita Merah Sebagai Simbol HIV/AIDS
Pita merah HIV/AIDS/ Foto: pinterest.com/LIVESTRONG.COM |
Hingga sekarang, hari AIDS sedunia diperingati dan sebuah pita merah menjadi simbol visual bermakna solidaritas untuk mereka yang terkena HIV/AIDS. Pita merah merah bersimpul sederhana berawal dari ide untuk meningkatkan awareness HIV/AIDS. Simbol pita merah hasil kreasi seorang kostum desainer bernama Marc Happel tahun 1991 itu pun masih digunakan sampai saat ini.